ARUNG PALAKKA
OLEH : SYAMSI AYU HUMAIRAH-X.9-123317
e-mail : sayuhumairah@yahoo.com
BIODATA
Arung Palakka (lahir di
Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun adalah Sultan Bone yang menjabat
pada tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih
kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666. Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai
kekuatan maritim besar yang bekerja sama dengan Belanda dan mendominasi kawasan
tersebut selama hampir seabad lamanya.
Arung Palakka bergelar La Tan-ri
Tatta To' Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To' Appatunru
Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun
pelafalan yang tepat adalah La Tenritatta To Ureng To-ri SompaE Petta MalampeE
Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
BIOGRAFI
Kelahiran dan Kematian
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di
Lamatta, mario-ri wawo soppeng pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak dari
pasangan La Pottobunna, Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu
Mario-ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone. Arung Palakka
meninggal di bontoala, kesultanan gowa pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan
di Bontobiraeng.
Pernikahan
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah
dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret
1668, sebelumnya
istri dari Karaeng Bontomaronu dan Karaeng
Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak bertahan lama dan keduanya
bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We Tan-ri Pau Adda
Sange Datu-ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli
1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari
La Tan-ri Bali Beowe II, Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni,
Adatuwang Sidenreng. Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September
1684
dengan Daeng
Marannu, Karaeng Laikang, putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng
Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya adalah istri dari Karaeng Bontomanompo
Muhammad.
Persekutuan
dengan VOC
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang ditakuti di
seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini
memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia.
Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis
Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di
Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari
cengkeraman & keperkasaan sultan hasanuddin. Batavia di abad ke-17 adalah
arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa
Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker,
kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial.
Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada
bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari
pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang
dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana
srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi
seorang perkasa bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip Nasional
Republik Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah tentang Batavia pada masa
silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit
kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone. Arung Palakka adalah potret
keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan.
Ia terasing dari bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun,
ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia
sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar
Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang
menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon
Speelman dan seorang
Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya
membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya,
termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi
jagoan pada masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan
VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah
perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun
1665. Arung Palakka adalah pangeran Bone yang hidup terjajah dan dalam tawanan
kerajaan gowa. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia.
VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke,
hingga serdadu Bone ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten
Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya
banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang
mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah
dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya. Baik
Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang
sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama
mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat suktan
hasanuddin bertekuk lutut di makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat
dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka,
Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu setelah terjadinya perjanjian bongaya yang
menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia
timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan
Sumatra dan membumihanguskan perlawanan
rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi
diametral, di satu sisi hendak membebaskan Bone, namun di sisi lain justru
menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat
perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang
kemudian di sebut Perjanjian Painan
itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas
Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan
perwakilan VOC di Padang bernama Jacob
Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi
yang dinamakan Ekspedisi Verspreet.
Bersama pasukan Bone, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat
Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus
hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman.
Di tempat inilah, Arung Palakka
diangkat sebagai Raja Ulakan.
Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai
keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob
Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker
telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil
besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur
Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak
heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa
itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya
bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu
bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar
serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal
VOC pada tahun 1681.
Kisah menakjubkan
dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh
Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac declornay de Saint Martin langsung bergerak.
Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton,
Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan
Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal.
Isaac juga berhasil memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan
Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda
dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan
itu, kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan
keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Arumpone Bone
Menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri Wawo ke-15.
Mendapat gelar Arung Palakka
sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan makassar. Diakui oleh belanda sebagai Arung
Pattiru, Palette dan Palakka di Bone and Datu Mario-ri Wawo di Soppeng,
Bantaeng dan Bontoala,1670. Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya
pada 1672. Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan
Sa'ad ud-din, 3 november 1672. Andaya mengarahkan perhatiannya kepada Arung
Palakka sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang
menguasai kehidupan orang Bugis atau Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari
akar sebab Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya
sendiri di kerajaan gowa yang sedang jaya-jayanya sebagai salah satu kerajaan
terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang tepat jika
dicari dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat laut
Nusantara, antara kerajaan gowa dan VOC, yang memuncak dalam Perang Makassar
1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan mancanegara. Alasan
pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi pangadereng yang meliputi
siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu), pacce (perasaan sakit dan
pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa seseorang
dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya dalam hidup ini melalui
tindakan orang itu sendiri). Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang memegang
peranan sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan keruh
selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum sejarawan JC van Leur bahwa masa lalu tidak
ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu siri’, pacce,
dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk menilai dan
mengevaluasi kejadian penting di abad itu, ketimbang standar masa kini.
Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang
sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
Berlatar belakang seperti itu, Andaya memulai riwayat
tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat Sulawesi
Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad ke-17, terutama
perkembangan Islam dan perdagangan internasional yang memuncak menjadi
ketegangan antara gowa, Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601.
Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta
mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di Desa Lamatta,
daerah Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone. Ketika umurnya
delapan tahun, Bone diperangi kerajaan gowa dan berhasil menaklukkannya. Sejak
berumur 11 tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana
gowa. Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di kerajaan gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh menjadi
pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga. Meski dia terlibat
aktif di Istana kerajaan gowa dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’
dan pacce mengingatkannya selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan
dan bahwa rakyatnya menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin
hebat karena harus menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone
ke Makassar atas perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan
Regent (Bupati) Bone, Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di
sepanjang garis pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa
dan Benteng Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan diri, seluruh
bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana, bekerja bersama
rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah diderita oleh rakyat
Bone dan Soppeng karena junjungannya dipaksa melakukan pekerjaan kasar yang
tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita kolektif orang Bone dan
Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka. Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka adalah salah satu perancangnya, tetapi
perlawanan itu patah oleh kekuatan gowa yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun
1660 dia meninggalkan Sulawesi Selatan bersama pengikutnya menuju Batavia
dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya terpatri sumpah tidak akan berhenti
mencari cara untuk kembali, buat perhitungan, dan merdekakan negeri Bone. Setelah
menunggu lima tahun, keinginannya terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur
pengikut Arung Palakka yang disebut Toangke ("Orang Angke", diambil
dari Kali Angke yang mengalir melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat
membantu memadamkan pemberontak Minangkabau, mengajaknya memerangi gowa yang
dinilai mengganggu kepentingan ekonomi VOC.
Andaya memberi ruang luas buat mengisahkan Perang
Makassar. Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung Palakka
dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin ekspedisi
ke kerajaan gowa. Keduanya menderita oleh apa yang mereka anggap ketidakadilan
sehingga rela berkorban apa pun demi memulihkan nama. Speelman yakin cuma
kemenangan yang bisa membersihkan namanya dari noda dipecat dengan tidak hormat
karena perdagangan gelapnya sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665.
Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan akan membebaskannya dari beban berat
bahwa siri’-nya telah mati. Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan rakyatnya dia
dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih baik mati untuk
mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup tanpa siri’ (mate
siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan siraman gula dan
santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi psikologis itulah yang
mendorong keduanya "mentafsir ulang" perintah VOC.
Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya mengenai
dampak perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis, Sinrili’na
Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang Makassar yang
dimaknai rakyat pedesaan Makassar dan Bugis sebagai kemenangan rakyat dan
keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan praktik (ada’)
yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan sare. Ini
sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan Indonesia
yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen VOC.
Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para raja
dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar. Jadi,
seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional dan
lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat memahami
bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", namun bukan "milik",
Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan dimanipulasi untuk menciptakan dirinya
sebagai salah satu penguasa atasan yang berhasil dalam sejarah Sulawesi
Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak saja dengan kesadaran dia tidak
akan berbalik melawan VOC yang telah memulihkan hidupnya dan rakyatnya, tetapi
juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia rela meninggalkan negerinya
pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC menyelesaikan persoalan pengungsi
Makassar pimpinan Karaeng Galesong
yang membantu perlawanan Trunojoyo
di Jawa. Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka adalah tokoh yang
diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga mampu menggunakan
pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan membuat pemerintah
pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan suara wakilnya di Fort
Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka semua berbagi
mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30 tahun kekuasaannya
berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju dikarenakan politik kotor
yang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran dan pengikutnya lari dan
mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai sejarah daerah tujuan itu.
Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi
Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain pribadinya sebagai pemimpin yang
sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan tradisi sebagaimana tersebut
dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak tertulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar